Vol.31 | Menimbang Apakah Kenaikan Tarif PPN 11% dalam Meningkatkan Penerimaan Negara Sudah Optimal?
Clara Anindita Wikaningtyas Aribowo, Kinaryoshi Nazhifahira, Yogi Supriyatna, Indah Marctya Zanuba, Audrey Pricilla
18 November 2024
0
Pada 1 April 2022, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang membuat masyarakat menjadi heboh, perihal kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% yang akan terus naik secara bertahap hingga menjadi 12% di tahun 2025. Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita ketahui terlebih dahulu apa itu PPN. PPN merupakan pajak yang dikenakan atas nilai tambah dari suatu Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dipungut saat melakukan transaksi atau penyerahan. Perubahan tarif PPN ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, keputusan ini menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat. Lantas, apakah kebijakan kenaikan tarif PPN ini sudah optimal dan tepat untuk meningkatkan pendapatan negara?
Secara khusus, penerapan PPN 11% terbukti berhasil menambah pendapatan negara, dengan kontribusi mencapai 26,9% pada 2022 dan 27,4% pada 2023 dari realisasi pendapatan negara. Data menunjukkan bahwa realisasi pendapatan PPN dan PPnBM melampaui target, yakni sebesar 107,6% pada 2022 dan 102,78% pada 2023 (Kemenkeu, 2023).
Meskipun begitu, perlu kita ketahui bahwa kenaikan pendapatan negara tidak sejalan dengan kenaikan persentase capaiannya. Persentase capaian pendapatan negara menurun hingga 3,28% dan persentase capaian pendapatan PPN dan PPnBM juga menurun hingga 4,83%. Dengan demikian, kenaikan tarif PPN 11% tidak sepenuhnya efektif dalam meningkatkan pendapatan negara. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa ada jalan lain yang dapat ditempuh yaitu melalui kebijakan Wealth Tax.
Pajak Kekayaan (Wealth Tax) dapat dikenakan pada kepemilikan kekayaan, transfer kekayaan, atau apresiasi kekayaan (Actionaid, 2018). Kebijakan ini menjadi salah satu alternatif yang efektif dalam meningkatkan pendapatan negara, redistribusi pendapatan, melindungi masyarakat lapisan ekonomi menengah kebawah, dan mengurangi ketimpangan di Indonesia. Peningkatan tarif PPN menjadi 11%, yang akan naik lagi menjadi 12% pada 1 Januari 2025, berdampak buruk dan dapat merembet ke berbagai sektor.
Kenaikan PPN sebesar 1% menjadi 11%, meski terlihat kecil, tetapi memiliki dampak besar pada berbagai aspek kehidupan. Dengan naiknya PPN, harga barang dan jasa di pasar menjadi semakin mahal. Kenaikan harga barang dan jasa memicu terjadinya inflasi dan membuat daya beli masyarakat menurun, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Kedua dampak ini dapat membuat lambatnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kenaikan PPN menjadi 11% mempunyai dampak pada tingkat pengangguran, yang juga merupakan efek dari penurunan daya beli masyarakat. Ketika daya beli masyarakat turun, maka banyak perusahaan yang terkena dampaknya atau mengalami kerugian, sehingga harus mengurangi tenaga kerjanya untuk meningkatkan efisiensi perusahaan. Pengurangan tenaga kerja ini menyebabkan banyak masyarakat kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran.
Kebijakan wealth tax menawarkan solusi yang lebih stabil dalam penerapannya dan memperhatikan kemampuan wajib pajak. Namun, dalam menerapkan kebijakan ini pemerintah perlu merancang skema yang efisien untuk mengurangi dampak negatif yang berpotensi timbul. Pertama, pajak kekayaan perlu didampingi penerapan Pajak Penghasilan (PPh) sebab kedua hal tersebut berbasis pada kapasitas wajib pajak untuk membayar. Oleh karena itu, kebijakan wealth tax harus didesain dengan memperhatikan keselarasan antara pajak kekayaan dan pajak penghasilan untuk menghindari beban pajak yang berlebihan pada kelompok wajib pajak tertentu. Kedua, skema wealth tax harus mempertimbangkan threshold atau ambang batas kekayaan yang dikenakan pajak. Ambang batas harus ditetapkan dengan cermat agar pajak hanya dikenakan pada individu berpenghasilan tinggi, tanpa memberatkan masyarakat menengah ke atas.a. Misalnya, wealth tax hanya dikenakan pada kekayaan bersih di atas jumlah tertentu, seperti properti, aset investasi, atau harta warisan. Ketiga, metode valuasi aset perlu diatur dengan jelas dan transparan. Valuasi aset seperti properti, saham, atau aset tidak likuid lainnya sering kali menimbulkan kesulitan karena fluktuasi pasar. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menetapkan mekanisme yang adil dalam menghitung nilai kekayaan sehingga wealth tax tidak memberatkan karena perbedaan evaluasi yang tidak akurat. Keempat, perlu ada sistem pengawasan yang ketat untuk menghindari praktik penghindaran pajak. Wealth tax sering kali menghadapi tantangan dari individu yang berusaha menyembunyikan kekayaan atau memindahkan aset mereka ke luar negeri. Oleh karena itu, kerja sama internasional dalam pertukaran informasi pajak bisa membantu pemerintah memastikan bahwa wajib pajak tidak bisa menghindari kewajiban mereka melalui praktik-praktik tersebut. Terakhir, kebijakan wealth tax harus disertai dengan komunikasi yang efektif kepada masyarakat. Pemerintah perlu menyosialisasikan tujuan dan manfaat dari penerapan pajak ini, seperti redistribusi kekayaan untuk menyeimbangkan ketimpangan sosial dan meningkatkan pendapatan negara Dengan demikian, pemahaman serta dukungan dari wajib pajak akan mengurangi resistensi dari kalangan yang terdampak.
Sebagai kesimpulan, meskipun kebijakan kenaikan tarif PPN berhasil meningkatkan pendapatan negara dengan kontribusi yang signifikan pada 2022 dan 2023, kenaikan ini memiliki dampak negatif, seperti penurunan daya beli, peningkatan pengangguran, dan risiko perlambatan ekonomi. Evaluasi dari kenaikan PPN 11% menunjukkan bahwa peningkatan tarif menuju 12% perlu dipertimbangkan dengan cermat, termasuk eksplorasi kebijakan alternatif seperti Wealth Tax yang dapat meningkatkan pendapatan negara dengan dampak yang lebih merata.
REFERENSI
Eka Afrina Djamhari, dkk. (2022). Pajak Kekayaan: Menakar Potensi dan Peluang Implementasi di Indonesia. Prakarsa Policy Brief, 1–3.
Fitriya. (2024, Juli 19). Pajak Pertambahan Nilai dan Peraturan Tarif PPN 11 Persen. Diambil kembali dari klikpajak.id: https://klikpajak.id/blog/pajak-pertambahan-nilai-Â ppn/
Kementrian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Data APBN 2022–2023. Diambil kembali dari https://data-apbn.kemenkeu.go.id/data-series
Mubarok, A. R. (2022, Mei 24). Sudah Efektifkah PPN 11 Persen? Diambil kembali dari DJKN Kemenkeu: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-Â artikel/15047/Sudah-Efektifkah-PPN-11-Persen.html
Nurhidayah, H. (2022). Alasan Kenaikan Tarif PPN 11 persen. Diambil kembali dari Pajak.com: https://www.pajak.com/pajak/alasan-kenaikan-tarif-ppn-11-persen/amp/
Pratiwi, D. R. (2022). Menilik Potensi Dampak Kenaikan PPN Menjadi 11 Persen di Tengah.
Ekonomi dan Keuangan Budget Issue Brief Vol 02, 2.